BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan semakin berkembangnya pembahasan
tentang ekonomi Islam, tuntutan untuk memahami transaksi praktis yang terjadi
dan sesuai dengan Islam pun terus meningkat. Maka dari itu kajian mengenai
akad-akad yang digunakan dalam tranaksi Islam (Mu’amalah Islamiyah) terus
digiatkan di berbagi universitas lewat program studi khusus maupun
seminar-seminar. Walaupun fiqih mu’amalah telah dipelajari lansung dari
kitab-kitab fiqih di berbagai pesantren, namun kajiannya secara ekonomi modern
baru mulai belakangan ini.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan
tadi, penulis mengangkat judul pembahasan “Perbedaan antara jual beli salam dengan
istisna’”. Dengan ini penulis bermaksud kita dapat memahami dua macam akad yang
hampir mirip dari segi praktek. Dua akad ini terjadi ketika seseorang
menginginkan suatu barang dengan karakteristik tertentu untuk membelinya,
sedangkan barang tersebut belum ada saat terjadi akad. Adakah akad seperti ini
dalam Islam, bagaimana rukun dan syaratnya, inilah yang menjadi pembahasan kami
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berasrkan latar belakang penulisan diatas dapat kita buat
rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa definisi dari jual beli salam dan istisna’
2) Apa landasan syari’ah kedua akad
tersebut
3) Apa rukun dan syarat kedua akad tersebut
4) Apa perbedaan antara jual beli salam dan
istisna’
C. Tujuan Penulisan
Dengan adanya makalah ini penulis berharap
bisa memberikan sumbangan terhadap kajian mu’amalah Islam sehingga bisa
bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan. Demikian juga penulis berharap
bisa menambah pengetahuan penulis tentang tema yang penulis bahas ini langsung
dari kitab-kitab yang ada.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebagaimana kita ketahui, syarat wajib sahnya
suatu akad adalah adanya barang yang diperjual belikan. Sedangkan dalam memnuhi
kebutuhannya, manusia terkadang tidak bisa menemukanya langsung tersedia. Maka
saat itu seseorang akan memesan kepada orang lain untuk membuatkannya dalam
bentuk pemesanan. Dia akan mengemukakan karekteristik barang yang diinginkan.
Dengan begitu seseorang akan berhutang ketika melakukan jual beli. Atau si
penjual berhutang barang yang belum ada saat terjadinya akad.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menjelaskan ketika kita melakukan trnsaksi hutang,
hendaklah ada pihak yang menctat untuk menhindari terjadinya perselisihan di
kemudian hari.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Jual Beli Salam
1) Pengertian
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah
dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang
dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat
akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah
pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror
dan untung-untungan (spekulasi).
Bai’ salam adalah akad jual beli dimana barang
yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh
sementara pembayarannya dilakukan secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan
harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad salam adalah akad yang sering digunakan
oleh perbankan syari’ah dalam bentuk pertukaran jual beli. Akad ini terjadi
ketika bank melakukan pembiayaan kepada sebuah perusahaan manufaktur, petani ,
atau produsen barang lainnya. Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka waktu
yang relative pendek. Bank akan bertindak sebagai pembeli dan produsen sebagai
pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya
lagi kepada pembeli kedua dengan akad salam. Maka dalam praktiknya
pembeli (nasabah) akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan kepada
bank. Kemudian bank akan memesan kan barang tersebut kepada produsen dalam
bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal istilah Salam Paralel antara pembeli
kedua, bank, dan produsen.
Akad salam menguntungkan kedua belah pihak
yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya)
mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan
yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan
harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan
usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum
jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada
kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi
permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
2) Landasan Syari’ah
Akad bai’ salam diperbolehkan dalam akad jual beli.
Berikut penulis paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah)yang terdapat dalam
Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah
menjelaskan tata cara mu’amalah dalam hutang piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar……
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan
melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan
untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah
untuk memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah
memberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat
tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500)
b. Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam BUkhari dari Ibnu Abbas merupakan
dalil yang secara sharih menjelaskan tentng keabsahan jual beli salam.
Berdasrkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual
bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi
kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
c. Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata: Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga
tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an,
Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi
Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
d. Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya
jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa,
semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan. (Zuhaili,
1989, hal. 568)
3) Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau
demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam
memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan.
Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah
dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan
ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam
jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pembeli (muslam)
b. Penjual (muslam ilaih)
c. Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat
tertentu pula, yaitu:
- Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas,
dan jumlahnya.
- Harus diserahkan saat terjadinya akad.
d. Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi
obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui
sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang
harus dipenuhi sebagai berikut:
a. Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b. Dilakukan pada barang-barang yang memiliki
criteria jelas
c. Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad
dilangsungkan
d. Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e. Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f. Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
B. Jual Beli Istishna’
1) Pengertian
Istishna’ adalah jual beli dimana barang yang
diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara
pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang
pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad Istishna' ialah akad yang terjalin antara pemesan
sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai
pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh
pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'ioleh
Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
2) Hukum akad Istishna’
Ulama' fiqih sejak
dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Ulama' mazhab Hambali
melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu
'anhu:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.
Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan
dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam. Bila demikian adanya,
berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1
(pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka
yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan
pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo
pengerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan
halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan
kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As
Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114,
& Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al
Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh
Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448
3) Landasan Syari’ah
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan
jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama' di sepanjang masa dan di
setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah
dalam segala hal selain ibadah:
"Hukum asal dalam
segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya."
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
Dalil keenam: Akad istishna' dapat mendatangkan banyak
kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak
jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak.
Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan
demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan
dan tidak dilarang.
4) Syarat dan Rukun Istishna’
Dengan memahami
hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan
oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang
berlaku pada akad salam diantaranya:
1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad
dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara
kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu
penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam,
sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin
Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa
menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad
salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad
istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu
penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi
dalil atau hukum syari'at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140
& Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)
3. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan
dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar
dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna'
dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu
kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang
yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun
selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal (Badai'i As Shanaai'i oleh
Al Kasaani 5/3, Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115
& Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//185)
Akan tetapi, dengan
merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka
dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad
istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga
berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka
tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh
masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
C. Perbedaan Jual beli Salam dan Istishna’
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN
& KETERANGAN
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fiih
|
Mashnu’
|
Barang Di Tangguhkan Dengan
Spesifikasi
|
Harga
|
Dibayar Saat Kontrak
|
Bisa Saat Kontrak, Bias Di Angsur,
Bias Di Kemudian Hari
|
Cara Penyelesaian Pembayaran
Merupakan Perbedaan Utama Antara Salam Dan Istishna
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat Secara Asli
|
Mengikat Secara Ikutan
|
Salam Mengikat Semua Pihak Sejak
Semula, Sedangkan Istishna Menjadi Pengikat Untuk Melindungi Produsen
Sehingga Tidak Ditinggalkan Begitu Saja Oleh Konsumen Secara Tidak
Bertanggung Jawab
|
Kontrak Pararel
|
Salam Pararel
|
Istishna’ Pararel
|
Baik Salam Pararel Maupun Istishna
Pararel Sah Asalkan Kedua Kontrak Secara Hokum Terpisah
|
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul dkk.
2007. Pengantar Fiqih Mu’amalah. Bogor: LPPM Tazkia
file:///G:/tugas%20fiqh%20muammalah/599-jual-beli-salaam.html
file:///H:/fiqh%20muamalah/600-akad-istishna.html
Hidayat, Mohamad.
2010. An Introduction to THE SHARIA ECONOMIC. Jakarta: Zikrul
Hakim